MUSEUM DUNIA MAYA DR IWAN S.
Dr IWAN ‘S CYBERMUSEUM
THE FIRST INDONESIAN CYBERMUSEUM
MUSEUM DUNIA MAYA PERTAMA DI INDONESIA
DALAM PROSES UNTUK MENDAPATKAN SERTIFIKAT MURI
PENDIRI DAN PENEMU IDE
THE FOUNDER
Dr IWAN SUWANDY, MHA
WELCOME TO THE MAIN HALL OF FREEDOM
SELAMAT DATANG DI GEDUNG UTAMA “MERDEKA
Showroom :
The Driwan’s Cybermuseum
(Museum Duniamaya Dr Iwan)
Please Enter
DSC SHOWROOM
(Driwan Soccer Sepakbola Cybermuseum)
Showcase:
Sejarah Sepak Bola Indonesia
History Of Indonesian Association Football (Soccer)
Frame One :
Introduction
During my early life in 1956(11 years old), I like to play football with the son of PSP(Padang Soccer Association) trainer Tjia Pit Kay. and I ever look The PSP plays at stadium Imam Bonjol in the fron of my grandpa house and Padang city Mayor office(kantor Walikota ), the best player was Arifin. During that time the best Indonesian keeper was Van der Vin
I am also ever look the Foreign Soccer from spain Real Madrid with Raymond Copa, the russian Sparta with player Bubukin.Endang Witarsa could made one goals in Russian Sparta soccer when play at Jakarta,
The best Indonesian player during the third PON at Makassar were Ramang . keeper Saelan, PSP number Two and Makssar number one.
I heard at Radio croadcast, the Indonesian team vs Russian team in Melbourne Olympic Games, the first in draw 0-0, and later the second games Russian win. the Indonesian team like Him Tjiang,Liong Hao,Kiat Sek,Saelan and Djamiat the other I am forgotten
Not much information still in my mind.that is why I am starting to collect the informations, and write the history of Indonesian soccer. and I hpope everybody will help me with the new info and comment for made this article as complete as we could.
Jakarta april 2011
Dr iwan suwandy
Frame Two:
Indonesian soccer
1.During Dutch East Indie (Hindia Belanda)
1.PSSI during DEI and DN Occupation
PSSI was established by a civil engineer named Soeratin Sosrosoegondo, who graduated in Germany and came back to Indonesia in 1928. In Indonesia, he worked at a Dutch company in Yogyakarta and became the first Indonesian to work at that company. However, later he resigned from the company and became more active in the revolutionary movement. As a man who loved football, he realised that football could be one of Indonesia’s “weapons” to gather Indonesian men and forced the Dutch colonies to leave Indonesia.
To accomplish his mission, Soeratin held many meetings with Indonesian football professional players at that time, mostly through personal contact since they wanted to avoid the Dutch police. Later, at a meeting that was held in Jakarta with Soeri, the head of Vetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ), and other players, they decided to establish a national football organization. On April 19, 1930, almost all non-national organizations, such as Voetbalbond Indonesische Jakarta (Jakarta), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Bandung), Persatuan Sepakbola Mataram (Yogyakarta), Madioensche Voetbal Bond (Madiun), Indonesische Voetbal Bond Magelang (Magelang), Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (Surabaya), and Vortenlandsche Voetbal Bond (Solo) gathered at the final meeting and established Persatoean Sepakbola Seloeroeh Indonesia (Football Association of Indonesia or PSSI) with Soeratin as the first leader.
Soeratin
In PSSI’s earlier years, they mainly used football as a method to resist the Dutch control of the colonies by gathering all the footballers which mostly were men. Later, because PSSI became stronger. In 1936, NIVB was changed to NIVU (Nederlandsh Indische Voetbal Unie) and cooperation with the Dutch began. In 1938, with “Dutch East Indies” as a name, NIVU sent their team to the 1938 World Cup. However, most the players came from NIVU, instead of PSSI, although there were 9 Tionghoa/”pribumi” players. As a result, Soeratin expressed his protest since he wanted a match between NIVU and PSSI before the world cup. In addition, he was also disgraced because the flag that was used at the world cup was the NIVU’s (Dutch)’s flag. Soeratin then cancelled the agreement with NIVU and Muhammad Rizki at the PSSI congress in 1939 in Solo.
When the Japanese armies came to Indonesia, PSSI became inactive because Japan classified PSSI as a Tai Iku Kai’s organization, or a Japanese sport association.
2.The Dutch East Indie Soccer Joint World Cup 1938
INDONESIA PERNAH IKUT PIALA DUNIA
Tim nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri yang merupakan bagian dari sejarah piala dunia. Menjadi tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria pada babak pertama, yang hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan di turnamen final Piala Dunia. Indonesia tercatat sebagai negara Asia pertama yang masuk ke putaran final Piala Dunia..
Keikutsertaan indonesia itu di akibat pengunduran diri Jepang dalam kualifikasi dan saat itu indonesia mewakili Federasi Sepak Bola Hindia-Belanda
Jepang menolak hadir dan memberikan kesempatan bagi Hindia Belanda untuk tampil mewakili zona Asia di kualifikasi grup 12. Lalu Amerika Serikat yang jadi lawan berikutnya menyerah tanpa bertanding.
Piala Dunia tahun 1938 sendiri di adakan di prancis, pertandingan Indonesia vs Hongaria berlangsung di Reims, Stadion Velodrome Municipale dengan kapasitas 10.000 orang. berlangsung pada tanggal 5 Juni 1938 pada jam 17.00 waktu prancis.
Berikut Pencetak gol nya :
Vilmos Kohut 13′
Geza Toldi 15′
Gyorgy Sarosi 28′ 89′
Gyula Zsengeller 35′ 76′
Pelatih: Johannes Christoffel van Mastenbroek (belanda)
Wasit: Roger Conrie ( Perancis)
AW 1: C. de la Salle ( Perancis)
AW 2: Karl Weingartner ( Jerman)
dan ini daftar nama pemainnya..
FW Van Beusekom •
MF Bing •
?? Dorst •
MF Faulhaber •
GK Harting •
DF Hu Kon •
DF Kolle •
MF Meeng •
MF Nawir •
FW Pattiwael •
DF Samuels •
FW Soedarmadji •
FW Taihuttu •
FW Tan H. D. •
GK Tan M. H. •
FW Tan S. H. •
FW Teilherber •
FW Telwe •
MF Van Den Burgh •
FW Zomers •
2. During dai nippon occupation
3.during indonesia independent revolution and war 1945-1959
4After 1950
1.a.KweeKiat Sek,Him Tjiang,The San Liong dan
Tan Liong Ho

SEMANGAT bermain sepak bola tak ikut pupus meski usia kakek warga Tionghoa kelahiran Surabaya, 26 Juli 1930, itu sudah mulai menginjak kepala delapan. Meski tak segesit dan sepiawai dulu ketika muda, dia masih rutin melakoni olahraga yang banyak digemari masyarakat dunia, termasuk Indonesia, itu.

.
Setidaknya, seminggu sekali dia bergelut dengan salah satu permainan body contact tersebut. Lawannya, jangan dikira, rekan-rekan seusianya sesama manula. Selama ini hampir semua partner bermainnya adalah pemain-pemain muda usia 20″30-an tahun. Tentu, secara fisik jauh lebih fresh.
Seperti saat Jawa Pos menemui Tan Liong yang juga populer disebut Latief Harris Tanoto tersebut di Stadion Taman Sari di kawasan Mangga Besar, Jakarta, pada Sabtu sore (30/1). Dengan helm masih terpasang, Tanoto yang baru turun dari motor dengan dibonceng anaknya terlihat bersemangat masuk ke stadion.
Telah tiba silih berganti sebelumnya, belasan pemuda dan beberapa lelaki warga Tionghoa. Mereka berbaur dengan sejumlah orang dari kelompok etnis lainnya. “Ayo Papi, cepat pakai sepatunya, langsung kita main,” teriak salah seorang di antara mereka dari dalam lapangan, menyambut kedatangan kakek yang suka disapa Tan Lion itu.
Sekilas dipandang, mungkin sebagian besar orang tak akan menyangka, masa muda lelaki yang rambutnya sudah memutih itu pernah menjadi pesepak bola terkenal. Sosok yang sangat disegani kawan dan lawan ketika bermain di lapangan bola.
Mantan pemain yang mendapat julukan “Macan Betawi” dari pendukung Persija pada masanya itu datang hanya mengenakan celana pendek dan bersandal japit. Sangat sederhana. Tangan kanannya menenteng tas kresek berisi sepatu bola. “Sejak dulu, saya ya seperti ini. Main di dalam maupun di luar negeri bawanya ya tas kresek kayak begini saja,” kata Tan Liong, sambil mencari posisi duduk di pinggir lapangan.
Sepatu butut yang pasangan sebelah kiri sudah bolong kecil di bagian samping itu lantas dikeluarkan dari tas kresek. Jari tangan yang kulitnya sudah mengeriput masih tampak tetap terampil memasang dan mengencangkan tali sepatu bergigi di bagian bawah khusus untuk sepak bola tersebut. “Saya tinggal lari-lari dulu ya,” kata Tan Liong, sambil beranjak masuk ke lapangan.
Di dalam lapangan, wajah pria yang usianya sudah mencapai 10 windu lebih itu tampak semringah. Meski hanya sesekali mendapat bola, mantan pemain yang dulu biasa bermain di posisi gelandang (pemain tengah) kiri tersebut tetap rajin berlari mengikuti arah bola. Ketika permainan berlangsung, sesekali dia terlihat memberikan arahan kepada pemain lain yang mungkin usianya sepantaran dengan cucunya.
Meski lahir di Surabaya, Tan Liong tumbuh remaja di Jakarta. Bakat dan hobi bermain sepak bolanya juga makin terasah di kota yang dulu sempat dikenal pada masa pra kemerdekaan sebagai Batavia tersebut. Saat berumur sekitar 17 tahun, dia bergabung dengan Chun Hwa, salah satu perkumpulan sepak bola Tionghoa saat itu, yang kini dikenal sebagai PS Tunas Jaya.
Namun, pihak keluarga awalnya tidak memberikan dukungan kepada Tan Liong menekuni sepak bola. Adiknya, Tan Liong Pha, yang bermain untuk Persib Bandung Junior juga terpaksa berhenti karena tidak mendapatkan izin. Sedangkan Tan Liong oleh ibunya, Ong Giok Tjiam, akhirnya dikirim ke Semarang, Jawa Tengah. Selain untuk bersekolah di sana, tentu tujuan keluarganya adalah menjauhkan dia dari aktivitas bola kaki.
Namun, hal itu tidak menghentikan hobinya itu. Dia secara sembunyi-sembunyi justru tetap bermain bola. Bahkan, beberapa kali dia ikut melakukan pertandingan lawatan ke luar kota. Namanya berkibar di kompetisi antarkota sebagai salah seorang pemain berbakat. “Tapi, sepintar-pintarnya saya, akhirnya tetap ketahuan juga,” kisah Tan Liong, lantas terkekeh.
Kegiatannya tetap bermain bola terbongkar setelah dalam sebuah pertandingan dia mengalami cedera cukup parah. Dahinya robek karena berbenturan dengan pemain lawan sehingga harus mendapat perawatan di rumah sakit. “Orang tua langsung suruh saya balik ke Jakarta lagi,” ujarnya.
Namun, garis sebagai pemain bola tak bisa dielak. Sepulang dari Semarang, sang ayah mengizinkan Tan Liong bermain bola. Kegigihan anaknya mengasah bakat sejak kecillah yang menjadi alasannya.
Tak berselang lama, berbarengan dengan momentum seleksi timnas untuk persiapan Asian Games I di New Delhi, India, dia yang saat itu berusia sekitar 20 tahun dipanggil masuk tim nasional. Prestasinya pun semakin bersinar sejak itu.
Berturut-turut pria yang juga akrab dengan sapaan Tanoto itu menjadi langganan timnas. Bersama The San Liong, Kwee Kiat Sek, Bee Ing Hien, dan beberapa pemain Tionghoa lainnya, dia kembali membela Merah Putih pada Asian Games II 1954. Kemudian, itu berlanjut pada prestasi spektakuler dalam ajang Olimpiade Melbourne, Australia, pada 1956. Timnas saat itu berhasil masuk babak perempat final dan menahan imbang tanpa gol negara kuat favorit juara Uni Soviet (sekarang Rusia).
Strategi permainan keras tanpa kompromi sengaja dipilih sejak awal karena sadar bahwa secara kualitas teknik maupun fisik kalah oleh Rusia. “Kalau main strategi biasa, pasti gampang sekali kita dikubur,” katanya. Dia lantas menunjukkan jari manis dan kelingkingnya sebagai perbandingan perbedaan timnas Indonesia dan Uni Soviet yang saat itu merupakan salah satu negara adidaya di dunia.
Karena strategi bermain keras tersebut, Tan Liong sampai merasa perlu memasang pengaman untuk kakinya dua sekaligus. Tidak hanya bagian depan menutup tulang kering, tapi juga bagian belakang. “Mau mati kek, mau apa kek, saya sudah siap saat itu,” tuturnya, penuh semangat.
Namun sayang, karena telah diforsir pada pertandingan pertama, di leg kedua dua hari kemudian untuk penentuan tim mana yang meneruskan ke babak berikutnya, Indonesia harus mengakui keunggulan Uni Soviet. Skor telak 4-0 untuk kemenangan tim lawan. Uni Soviet kemudian terus melaju dan berhasil menjadi juara pada ajang Olimpiade 1956 tersebut.
Namun, jangan membayangkan bahwa perjuangan timnas yang banyak digawangi pemain warga Tionghoa waktu itu mendapat support penuh dari publik Indonesia seperti saat timnas Indonesia berlaga dalam ajang AFF 2010 beberapa waktu lalu.
Sebelum melaju ke babak perempat final bertemu Uni Soviet, Indonesia terlebih dahulu harus menghadapi Republik Rakyat Tiongkok. Keraguan dan tudingan miring pun dialamatkan kepada para pemain timnas warga Tionghoa. Tan Liong dan kawan-kawan sempat dianggap akan bermain setengah hati bila bertemu pemain Tiongkok.
“Ini kalau diomongkan memang nggak enak. Tapi, kenyataannya kayak gitu. Seperti saya, biarpun WNI, tetap ada embel-embel Tionghoa-nya di belakang,” keluh Tan Liong. Meski berhasil menjawab dengan kemenangan, tudingan yang sama ternyata masih dialamatkan saat Indonesia kembali harus melawan Tiongkok dalam pertandingan Pra Piala Dunia 1958.
Namun, untuk kali kedua, Tan Liong dkk kembali bisa menjawab dengan keberhasilan mengalahkan negara dengan penduduk terbesar di dunia tersebut. “Aku nggak ada pikiran kayak begitu-begitu, pokoknya aku dapat tugas main, ya main sebaik-baiknya. Saya Indonesia, lahir di sini, makan di sini, berak di sini, mati juga di sini,” tegas mantan pemain yang juga pernah membela Persija itu.
Perlakuan diskriminatif kepada para pemain warga Tionghoa saat itu, menurut dia, menjadi salah satu alasan surutnya warga Tionghoa dalam dunia sepak bola tanah air hingga saat ini. Termasuk alasan terkuat dirinya mundur dari timnas pada 1962. “Jadi, saya mundur bukan karena tidak laku lagi. Saya masih dipakai waktu itu,” ujarnya.
Padahal, lanjut dia, menjadi pemain timnas sepak bola Indonesia sesungguhnya merupakan impian dan kebanggaan tersendiri bagi bapak empat orang anak itu. Saking berartinya, sampai-sampai, kaus timnas yang dipakainya saat membela Merah Putih tidak pernah dikenakan di luar lapangan. “Saya nggak mau pakai sembarangan. Mentang-mentang menjadi pemain timnas, lalu ke mana-mana pakai kaus yang ada gambar garudanya itu. Kalau saya, enggak,” tutur Tan Liong.
Sejumlah jersey timnas yang dimilikinya selama 12 tahun membela timnas Indonesia tetap disimpan rapi. “Yang namanya pusaka itu cuma dipakai saat berjuang. Ini bentuk penghargaan saya. Sebab, garuda benar-benar ada di sini,” tandasnya, sambil menunjuk dada sebelah kiri.
Bermain sepak bola, baik di klub maupun timnas saat membela Indonesia, juga bukan pertimbangan uang atau materi. Menurut Tan Liong, sekali bermain di Persija dia hanya dibayar segobang atau 2,5 sen. Uang sebesar itu pada zaman tersebut bisa digunakan untuk membeli semangkuk soto betawi yang sekarang harganya sekitar Rp 10 ribu. Sedangkan di timnas, saat Olimpiade, dia hanya mendapat USD 1 dolar sehari. “Jadi, bukan uang pertimbangannya,” tegasnya.
Dua anak Tan Liong, Budi Tanoto dan Wahyu Tanoto, sebenarnya juga sempat mengikuti jejak ayahnya sebagai pemain bola. Keduanya juga pernah masuk timnas dan Persija senior pada era 1980-an. Namun, kiprah keduanya cuma sekilas dan tidak sefenomenal ayahnya.
1b.Djamiat
Seorang pesepakbola nasional, bernama lengkap Mohammad Djamiat Dalhar. Lahir di Yogyakarta 25 November 1927, dan meninggal 23 Maret 1979. Berasal dari keluarga guru sekolah Muhammadiyah. Ayahnya, Dalhar, adalah pemain sepakbola yang andal di kota kelahirannya, di samping tokoh Muhammadiyah. Dia mulai main
sepakbola ketika kanak-kanak, di alun-alun sekitar masjid Agung Yogyakarta. Setelah melalui masa kanak-kanaknya, bermain dengan kaki ayam, ia bergabung dengan klub HW (Hisbul Wathan) Yogya, dimana ayahnya bermain sebagai kiri dalam. Posisi itu pula yang kemudian ditempati Djamiat, termasuk ketika memperkuat tim PSSI.
Dari menonton penampilan Soedarmadji, salah satu pemain pribumi yang memperkuat Hindia Belanda dalam Piala Dunia 1938, kemudian menirukannya, Djamiat mengembangkan kemampuan dirinya. Kesungguhan itu pula yang membuat drg. Endang Witarsa, lawan mainnya saat pertandingan di Semarang, terkesan saat berjumpa kembali dengan Djamiat di Jakarta. Saat cedera lutut, ia hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Apoteker Salemba, Jakarta. Endang yang sudah praktek dokter gigi di RS Cipto Mangunkusumo
menawarkannya berobat dengan seorang dokter ahli sekaligus mencarikan donatur untuk mengobati cidera lutut yang sepertinya akan mengakhiri karir sepakbola Djamiat. Operasi itu berhasil dan ia dapat meneruskan
karir sepakbolanya dengan bergabung pada klub UMS yang dilatih Witarsa.
Karier sepak bolanya meningkat ketika pelatih PSSI asal Yogoslavia, Tony Pogacnik, kembali memanggilnya untuk memperkuat tim nasional. Djamiat mesti berjuang keras untuk menjadi pemain nasional. Ia sempat diragukan karena tubuhnya mulai gemuk, dan juga perlu perjuangan ekstra keras untuk menggantikan pemain-pemain yang sudah mapan. Namanya diabadikan sebagai Piala Kerjurnas Sepakbola Di Bawah Umur 17, yang didedikasikan atas peranannya dalam meneari bibit-bibit unggul sepakbola nasional.
1.cRamang

Ramang (1928 – Makassar, 26 September 1987) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.
Awal karier
Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo’lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.
Pekerjaan lain
Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. “Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting,” kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. “Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati,” katanya.
Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya? Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.
Karier di tim nasional sepak bola Indonesia
Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.
Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.
Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. “Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan,” ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.
Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.
Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.
Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. “Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang,” kata Ramang.
Akhir karier
Kejayaan Ramang ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan. Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul mati. Saat ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.
Karier kepelatihan
Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah ia dapatkan di PSM Makassar. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.
Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. “Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi,” katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. “Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?” katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.
Meninggal dunia
Suatu malam di tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah satu julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.
Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri di pintu utara Lapangan Karebosi.
2.Endang Witarsa (Lie Soen Yoe)
Drg. Endang Witarsa alias Lim Sun Yu atau Liem Soen Joe (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 16 Oktober 1916 – meninggal di Jakarta, 2 April 2008 pada umur 91 tahun) adalah mantan pemain sepak bola dan pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia. Setelah pensiun sebagai pemain, Witarsa beralih menjadi pelatih sepak bola dan penasehat PSSI.
Endang Witarsa lulus sebagai dokter gigi, namun memutuskan untuk berkarier di dunia sepak bola dengan memulai karier di klub UMS atau Union Makes Strength, Bandung yang saat itu masih bernama Tiong Hoa Hwee Koan Scholar Football Club. Atas predikatnya sebagi dokter gigi, oleh rekan-rekan dan anak didiknya, dia dipanggil sebagai “Dokter”.
Sebagai pelatih, Endang Witarsa dikenal sebagai pelatih yang sangat disegani dan sangat keras dan disiplin, dan tak segan memaki dan menghardik pemain yang malas atau tidak menjalankan instruksinya dengan baik.
Penghargaan
Lifetime Achievement Award dari Badan Liga Indonesia (October 2006)
Fairplay Award dari Jawapos Group (2007)
MURI: Pelatih sepak bola terlama (55 tahun)
MURI: pelatih sepak bola tertua (90 tahun)
Karir Kepelatihan
Klub
UMS (1951, debut sebagai pelatih)
Warna Agung
Persija
tim nasional sepak bola Indonesia
Juara Piala Raja, Thailand (1968)
Juara Merdeka Games, Malaysia (1969)
Juara Anniversary Cup (1972)
Juara Agha Khan Cup, Pakistan)
Mengalahkan timnas Uruguay 2-1 dalam pertandingan persahabatan di Jakarta (tahun…?)
Anak didik
Sepanjang karier panjangnya di dunia sepak bola Indonesia, Endang Witarsa telah melahirkan ratusan bahkan ribuan anak didik yang sukses dalam kancah sepak bola nasional al. Risdianto, Yudo Hadianto, Reny Salaki, Arjuna Rinaldi, Widodo C. Putro, Warta Kusumah, Thio Him Tjiang, Peng Hong, Alai, Ronny Paslah, Anwar Ujang, Mulyadi, Surya Lesmana, M. Basri, Wahyu Hidayat, Gunawan, Bambang Sunarto, Yuswardi, Yusak Susanto, Iswadi Idris, Djamiat Dalhar, Sucipto Suntoro, Kwee Kiat Sek, Thio Him Toen, dan lain-lain.
Kematian
Endang Witarsa menghembuskan nafas terakhir di RS Pluit, Jakarta, pada tanggal 2 April 2008, setelah dirawat sejak 10 Maret 2008, dalam usia 92 tahun, karena gangguan perut dan pencernaan, sehingga tidak bisa mencerna makanan. Almarhum meninggalkan 4 anak, 12 cucu, dan 9 cicit. Jenazah Endang Witarsa dikremasi di Oasis Lestari, Karawaci, Tangerang. Sebagian besar dari usianya, dihabiskan untuk sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih.
3.Hadi mulyadi (Fan Tek Fong)
Fan Tek Fong – Hadi Mulyadi “puas hidup dengan kebanggaan”
Masa Kejayaan
Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960 Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah Dokter Endang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.
Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Endang tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963. Tek Fong kemudian pindah ke klub Pardedetex Medan pada tahun 1969.
Saat Dokter Endang dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Risdianto, Surya Lesmana, Yakob Sihasale, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.
Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.
Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King’s Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.
Dokter Endang sebagai Guru Besar
Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Dokter Endang adalah pelatih ketika Tek Fong memperkuat UMS, Persija Jakarta, Warna Agung, dan tim nasional PSSI. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.
Tek Fong tidak jauh dari Dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan Dokter. Ketika Dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian.
Tek Fong masih teringat ajaran-ajaran yang diberikan Dokter Endang. Dokter Endang selalu mengingatkan agar Tek Fong bersikap jujur, tidak berbohong, dan memelihara pertemanan dengan baik. Ia baru menyadari pertemanan yang dimaksud ketika Dokter memindahkannya dari Persija ke Pardedetex Medan pada 1969. Ternyata Dokter sudah berteman dengan T.D. Pardede ketika pengusaha Medan itu mendirikan klub Pardedetex.
Berkarier menjadi Pelatih
Setelah 12 tahun menjadi pemain sepak bola, Tek Fong kini menjadi salah satu pelatih Sekolah Sepak Bola Union Makes Strength (UMS), klub sepak bola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. “Saya ingin menghabiskan masa tua di sini,” katanya. Ia adalah sedikit dari banyak pemain nasional etnis Tionghoa yang masih tersisa.
Sebagian mimpi lelaki dengan dua anak ini kini terwujud. Tek Fong sangat bangga ketika memperkenalkan Robo Solissa, yang bermain untuk klub UMS, anggota Divisi Utama Persija Jakarta. Nyong Ambon itu adalah hasil didikannya selama tiga tahun di Sekolah Sepak Bola UMS di Petak Sinkian.
Tek Fong tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan saat membesarkan meteor bola baru. “Jangan tanya saya punya apa dari sepak bola,” katanya. Kebanggaan baginya tak bisa dikalahkan dengan apa pun, bahkan dengan uang. Lelaki yang hampir setiap hari berada di lapangan Petak Sinkian itu memang tak punya apa-apa. Hidupnya jauh dari mentereng. Lelaki itu cukup puas hidup dengan kebanggaan.
Karir sebagai Pemain
* Tim nasional PSSI (1964-1972)
* Klub UMS (1960)
* Klub Persija Jakarta (1963)
* Klub Pardedetex Medan (1969-1970)
* Klub Warna Agung (1972)
* Klub UMS (1990)
Prestasi
* Juara Aga Khan Cup 1967 di Dhaka, Bangladesh
* Juara King’s Cup 1968 di Bangkok, Thailand
* Juara Merdeka Games 1969 di Kuala Lumpur, Malaysia
* Juara Anniversary Cup 1972 di Jakarta
* Juara Pesta Sukan 1972 di Singapura
Fan Tek Fong alias Hadi Mulyadi alias Mulyadi (lahir di Serang, 19 September 1943 – meninggal 30 Januari 2011 pada umur 67 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1960an. Pada masanya, Ia dikenal sebagai pemain belakang yang andal. Ia pernah memperkuat tim nasional PSSI, UMS, Persija, Pardedetex, dan Warna Agung.
Frame Three :
The Indonesia national football team
![]() |
|||
Nickname(s) | Timnas (Tim Nasional, The National Team) Merah Putih (The Reds and Whites) Tim Garuda (The Garuda Team) |
||
---|---|---|---|
Association | Football Association of Indonesia (PSSI) | ||
Sub-confederation | AFF (Southeast Asia) | ||
Confederation | AFC (Asia) | ||
Head coach | Alfred Riedl | ||
Asst coach | Widodo C. Putro Wolfgang Pikal |
||
Captain | Firman Utina | ||
Most caps | Bambang Pamungkas (86) | ||
Top scorer | Bambang Pamungkas (34) | ||
Home stadium | Gelora Bung Karno Stadium | ||
FIFA code | IDN | ||
FIFA ranking | 129 | ||
Highest FIFA ranking | 76 (September 1998) | ||
Lowest FIFA ranking | 153 (December 1995, December 2006 and July 2008) | ||
Elo ranking | 130 | ||
Highest Elo ranking | 35 (November 1969) | ||
Lowest Elo ranking | 155 (4 December 1995) | ||
|
|||
First international | |||
![]() ![]() (Batavia, Dutch East Indies; March 28, 1921)[1] |
|||
Biggest win | |||
![]() ![]() (Seoul, South Korea; September 22, 1972) ![]() ![]() (Jakarta, Indonesia; December 23, 2002) |
|||
Biggest defeat | |||
![]() ![]() (Copenhagen, Denmark; September 3, 1974) |
|||
World Cup | |||
Appearances | 1 (First in 1938) | ||
Best result | Round 1, 1938 | ||
Asian Cup | |||
Appearances | 4 (First in 1996) | ||
Best result | Round 1, 1996, 2000, 2004, 2007 |
The Indonesia national football team represents Indonesia in international football; it is controlled by the Football Association of Indonesia (PSSI). Despite football being one of the nation’s favourite sports, Indonesia is not among the strongest teams in the AFC. However, in history they are considered as one of the strong teams in Southeast Asia. Prior to independence in 1945, the team competed as the Dutch East Indies national football team.
Contents
|
History
Early days
The early matches involving sides from the Dutch East Indies were organised by the Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) or its successor, the Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). The matches prior to independence in 1945 are not recognised by PSSI (the Football Association of Indonesia).[1]
The first recorded football match involving a side from the Dutch East Indies was against a side from Singapore on March 28, 1921. The match was played in Batavia and was won 1–0. This was followed by matches against an Australian XI in August 1928 (won 2–1) and a team from Shanghai two years later (4–4).[1]
In 1934, a team from Java represented the Dutch East Indies in the Far Eastern Games played in Manila, Philippines. Despite defeating Japan 7–1 in their first match,[2] the next two matches ended in defeats (2–0 to China and 3–2 to the host nation) resulting in a second-place finish in the tournament for the Javan team. Although not recognized by PSSI, these matches are treated as the first matches involving the Indonesian national side by the World Football Elo ratings.[3]
FIFA World Cup
Dutch East Indies players line up in Reims, France in 1938 to face Hungary.
Indonesia, under the name Dutch East Indies, was the first Asian team to participate in the World Cup when they qualified to the 1938 tournament. A 6-0 first-round loss in Reims to eventual finalists Hungary remains the country’s only appearance in the World Cup.
In 1958, the team tasted their first World Cup action as Indonesia in the qualifying rounds. They got past China in the first round, but subsequently refused to play their next opponents Israel due to political issues. The team subsequently suffered a ban from FIFA World Cup from 1958 to 1974 due to unfavorable internal and external political situation. It was only almost two decades later that Indonesia returned to the fold.
Asian Cup
Indonesia’s first appearance in the AFC Asian Cup was in the United Arab Emirates in 1996. During the tournament Indonesia only gained one point from drawing against Kuwait in the first round. Their second appearance in Asian Cup was in Lebanon in 2000: again, they gained only one point from three games, and again, from a draw against Kuwait.
Indonesia eventually established better record in 2004, beating Qatar 2-1 to record their first ever victory in the history of tournament. Nevertheless, as luck had it, the win was unfortunately not enough to qualify for the second round.
Their participation in 2007 was especially notable as Indonesia acted as one (of four) co-hosts of the tournament. The national team proceeded by defeating Bahrain 2-1 in the first match, however, the next two ties proved tough as they face Asian giants Saudi Arabia and South Korea. Despite arguably decent performance both ties ended in narrow 1-2 and 0-1 defeat — thus sealing their fate as third place in the group.
ASEAN Football Championship
Indonesia has somewhat decent record in ASEAN Football Championship, reaching the final four times (2000, 2002, 2004, and 2010), albeit never able to lift the trophy. Their claim of regional titles came via Southeast Asian Games in 1987 and 1991, whilst only getting bronze or silver medals in recent time.
It was perceived that, right after the historic 2004 Asian Cup campaign, Indonesia might be on verge of growing stature in ASEAN football scene. Under the guidance of former Aston Villa and England striker Peter Withe, the South-East Asian outfit looked set to continue success in terms of football development and FIFA World Rankings. However they failed on the group stage of ASEAN Football Championship, and on January 18, 2007, Withe was immediately sacked. He was replaced by Bulgarian Ivan Venkov Kolev.
After the Withe era, the inability to fulfill ASEAN target has been cited as reason for Indonesian managerial rolling door. During two years time Indonesia national team had seen Kolev succeeded by local coach Benny Dollo, whom was in turn getting sacked in 2010. As of recently Indonesian national team head coach position is held by Alfred Riedl, former national coach of Vietnam and Laos.
The 1998 Tiger Cup Controversy
The regional 1998 ASEAN Football Championship tournament was perhaps infamous in respect to Indonesian football history. In what was supposedly a sporting event, the group stage match between Thailand and Indonesia was marred with an unsportsmanlike attempt. At the time both teams had already qualified for semi-finals, but with knowledge that winners would have to face hosts Vietnam, while the losing team would play the supposedly-weaker Singapore. There was also technical incentive that facing Vietnam would mean moving training bases from Ho Chi Minh City to Hanoi — which none of the team would wish to do.
The first half saw very little action as both teams barely making attempt to score. During the second half both teams managed to score, partly thanks to half-hearted defending, resulting in a 2–2 tie after 90 minutes. However the real infamy didn’t take place until extra time, in which Indonesian defender Mursyid Effendi deliberately kicked the ball into his own goal (despite the Thais’ attempts to stop him doing so).
This turn of events led to Thailand winning the match 3-2, sending them to face Vietnam. Nevertheless repercussion and outrage followed after the match: both teams were eventually fined for “violating the spirit of the game”, and Mursyid Effendi was banned from football for life.
Ironically in the semi-finals, Thailand lost to Vietnam, and Indonesia also lost to Singapore, pitting the team once again for third-place playoff. Indonesia eventually won by penalty shootout, as in the final, unfancied Singapore made one of the competition’s biggest shocks by defeating Vietnam.
Kit
Kit used in the 1938 FIFA World Cup |
During the Dutch colonial era, the team competed as Dutch East Indies in international matches and played in an orange jersey, the national colour of the Netherlands. There are no official documents about the team’s kit, only several black-and-white photos from the match against Hungary in the 1938 FIFA World Cup, but unofficial documents stated that the kit consisted of an orange jersey, white shorts and light blue socks.[4] After Indonesia’s independence, the kit consists the colours of the country’s flag, which are red and white. A combination of green and white has also been used for the away kits, and was used from the team’s participation in the 1956 Summer Olympics in Melbourne, Australia, until in the mid 1980s.[5] During the 1990s, the colour changed to all-red for the home kit and all-white for the away kit. In 2007, just before the start of the Asian Cup, the original colours were restored.
The shirt badge has always been the Garuda Pancasila, Indonesia’s coat of arms. This is where the inspiration of the song Garuda di Dadaku (Garuda on My Chest) came from. The song is a modified version of a Papuan folk song, Apuse, with the lyrics changed. It was made by Persija Jakarta football fans, and was popularized by Jakmania which was recorded for a movie under the same name.
Home Stadium
The Indonesian home stadium is the Gelora Bung Karno Stadium, Jakarta. The stadium capacity is 88,083. The stadium is the largest Stadium in Indonesia, it is also the largest stadium in South East Asia and the 10th Biggest football stadium in the world. It is located in Jakarta, Indonesia. The stadium was built in 1960 for the 1962 Asian Games and is the home stadium of Indonesia football team up to present.
Other stadia used include:
- Lebak Bulus Stadium
- Jakabaring Stadium
- Jalak Harupat Soreang Stadium
- Gelora 10 November Stadium
- Gelora Sriwijaya Stadium
- Manahan Stadium
- Siliwangi Stadium
- Palaran Stadium
- Gelora Bung Tomo Stadium
Tournament records
FIFA World Cup record
Olympic Games competition history(Under-23 team since 1992)
ASEAN Football Championship RecordThis competition was formerly known as the Tiger Cup
|
South East Asian Games record(Under-23 team since 2001)
Asian Cup record
Official MatchesBelow is a list of all matches Indonesia have played against FIFA recognised teams.[6][7]
Fixtures and resultsMain article: 2011 Indonesia national football team results
Recent resultsPlayersCurrent squadThe following players are registered for the AFF Suzuki Cup 2010
Recent Call ups
Previous squads
Coaches
Notable playersTopscorers
* The players in bold typeface are still active in football. [Captains
[ |