Studikelayakan tulisan Kompasiana (4) “Ibuku Idolaku”

Fiksi
seorang ibu … yang kepingin tulisannya dibaca dan yang baca terkesan dan ngasih komentar…

Ibu Guru, Idolaku (Bg I)
Nyimas Herda
|  26 Juni 2010  |  16:32
155
13
     
   
   
2 dari 2 Kompasianer menilai Menarik.

Duh panas sekali ya kota Palembang siang ini… lihat keringatku bercucuran.. entah berapa kali aku menghapusnya di wajahku nan ganteng ini.. ingin rasanya pulang, duduk depan tivi nonton tivi sambil minum air dingin … hemn… tapi.. yang hari ini kutemeni keliling-keliling pusat pertokoan asyik-asyik saja.. tuh lihat bahkan dengan cerianya dia milih-milih sepatu bersama anak-anaknya yang juga anak-anakku… yeeeeh… memang benar kata teman mengajarku, paling nggak enak nemeni “wong rumah” belanja… tapi mau bagaimana lagi, hari ini aku memang telah berjanji untuk menemani istri dan anak-anakku untuk belanja kebutuhan sekolah. anak-anakku naik kelas semua, meski tidak menduduki ranking sepuluh besar.. tapi semangat untuk mau bersekolah sudah cukup bagiku sebagai orang tua yang tidak banyak menuntut kepada anak-anakku yang ada dua, laki-laki dan perempuan sama saja.. eeh kenapa jadi seperti iklan KB zaman Presiden Suharto ya… hehehe.

” maaf pak… permisi..” tiba-tiba ada yang mau nyelip mendahuluiku.. memang nih ruang untuk jalan di toko sepatu yang dimasuki istri dan anak-anakku rada sempit. aku agak menepi agar ibu … eeh.. aku merasa suprise melihat siapa yang mau lewat…

” Ibu Ya… ibu Yayan.. ” aku jadi setengah berteriak, ibu yang mau lewat tersebut, dan kusebut dengan panggilan ibu Yayan kaget.. dia melihat ke wajahku, meneliti. aha, masyak dia tidak ingat dengan aku. aku pikir dulu aku sangat dekat dengan ibu ini sampai-sampai aku berani mengganti namanya yang Yayanti menjadi Yayangku.. untuk mencandainya dulu, sewaktu aku masih berseragam putih abu-abu dan ibu ini mengajar di kelasku sebagai seorang guru Akuntansi. Waktu itu ibu ini masih mahasiswi, dan kupikir sekarang dia tentu, sudah bergelar sarjana.. Sepeda.. hehehe S.Pd maksudku.. bukankah aku sendiri sudah lima tahun yang lalu bergelar S1 tersebut.

tetapi jika ibu ini tidak ingat wajar saja, dia melihatku terakhir dulu, sewaktu aku masih diajarnya, dan itu 15 tahun yang lalu. sekarang saja aku sudah punya anak dua, yang pertama sudah kelas IV SD dan yang nomor dua sudah kelas II SD.

dengan sikap khasnya yang kusuka, ibu Yayan membetulkan kacamatanya.

“maaf, ibu betul-betul lupa, mungkin karena kumismu itu” katanya… aha, masih selembut dulu.. dan subhanallah ketika aku betul-betul memperhatikan bagaimana wajah ibu Yayan ini, dia tampak seperti 15 tahun yang lalu, tidak terlihat perubahan sedikitpun.

“ibu masih cantik” kataku tanpa menghiraukan jika beliau lupa padaku.

dia ketawa lirih,

“ibu sudah tua nak. kamu saja sudah menjadi bapak-bapak begini. ibu tentu sudah nenek-nenek” katanya bijak.

“yook sudah ya, ibu lagi terburu-buru” lanjut beliau dan segera melanjutkan langkahnya. eeeh dia sepertinya tidak ingin tahu siapa aku..

“bu, aku Syahrizal” seruku sebelum langkahnya semakin jauh. dan seperti dugaanku, langkah itu terhenti dan dia langsung kembali mendekatiku.

“kaa..mu Syahrizal..” dia seperti gugup. dan aku mengerti mengapa dia gugup. karena aku dulu memang merupakan siswa yang paling tidak ingin dikenangnya, kukira. Mengapa tidak, aku pada waktu itu setelah kelulusan dan dinyatakan lulus langsung menemui dia dan mengatakan bahwa…. hehehehe.. aku mencintainya sebagai laki-laki kepada perempuan. kurang ajarnya aku kan ? dan sepanjang aku diajar dia aku berusaha membuat dia marah dan marah. ada saja ulahku agar dia tersinggung, dan waktu itu dia terlampau muda untuk jadi seorang guru, selisih denganku hanya 3 tahun. itu ketahuan dari data di kantor guru. dan soal kepintaran memang tidak kupungkiri dia seorang wanita yang pintar. dengan jilbab panjangnya dia selalu berusaha untuk menjaga kewibawaan seorang guru wanita yang santun dan bijak tapi bagiku saat itu dia sama saja dengan teman-teman wanitaku sebayaku.

entahlah, mengapa saat itu aku bersikap begitu padanya. di mataku, dia memang seorang wanita yang begitu mempesonaku, membutakan aku sehingga aku suka nabrak-nabrak jika dia lewat di dekatku. tetapi sikapnya yang selalu menjaga jarak dan berusaha menempatkan aku sesuai dengan posisiku sebagai muridnya membuatku bertambah ingin menjadikan dia, pendampingku, pacarku, kekasihku kalau untuk jadi istri, belum tentu saja. aku kan masih pelajar SMA, waktu itu.

Lalu karena begitu kentalnya perasaan itu, tanpa berpikir panjang lagi ketika kesempatan untuk bicara ada, aku pergunakan sebaik-baiknya. dan reaksinya sangat mengagumkan. dia tidak marah. dia bahkan tersenyum, manis sekali dan senyum itu sampai hari ini meski istriku juga memiliki senyum yang terindah buatku, aku masih teringat dan terkenang..

“Terimakasih Zal. sudah ya, ibu pulang” kata-kata itu singkat dan jelas.

dan besok, besoknya lagi, setiap kali aku kesekolah untuk menemui,  dia selalu berhasil menghindari aku. Dan ketika aku memutuskan untuk kuliah ke Jogya di sebuah Perguruan Tinggi di sana, sehari sebelum keberangkatanku ke Jogya aku memberanikan diri untuk mendatangi rumahnya. Dia tidak ada, dia sedang mengisi materi kerohanian di Masjid. kata wong yang ada di rumahnya. dan sampai sore aku menunggu, dia tidak pulang, hanya lewat telpon dia memberitahu kerabatnya, dia hari itu terlambat pulang karena ada keperluan. aku tidak mungkin menunggunya sampai malam karenanya aku pulang dengan perasaan kecewa.

waktupun melaju dengan alaminya, aku ketemu wanita yang sikapnya agak mirip dengan ibu Yayan ini dan akupun menikahnya meskipun waktu itu aku dan wanita itu masih berstatus mahasiswa-mahasiswi. karenanya ketika aku menyandang gelar sarjana, aku sudah memiliki balita dua orang… hehehe.. sementara istriku, dengan sangat terpaksa tidak menyelesaikan kuliahnya, dia sakit-sakitan sih. Lalu setelah segala urusan selesai aku kembali ke Palembang dengan istri dan anak-anakku. dan aku ikut tes PNS, lulus dan ditempatkanlah aku di salah satu SMP negeri di kota Palembang ini, kota kelahiranku.

“Rizal, kamu bersama istri dan anak-anakmu ya” kata ibu Yayan menyadarkan lamunanku. dan memang saat itu istri dan anak-anakku mendekatiku karena disampingku ada ibu guruku ini..ibu guru yang tetap cantik seperti 15 tahun yang lalu.

“oya.. kenalkan bu”

Asri, istriku menyalami sang ibu. begitu juga dengan anak-anakku. senyum manis itu mengembang dengan tulus.

“Istri kamu cantik…” katamu ketika istri dan anak-anakku sibuk kembali dengan acara mereka.

“terimakasih bu..” aku sedikit tersipu, kenangan masa lalu itu kembali menari-nari dipelupuk mataku, dan sepertinya aku.. astafirullah al azim, masih merasa deg-deg an di dekatnya.

” Kamu sekarang kerja di mana ?” dia bertanya sambil memilah-milah baju yang terpajang di dekatnya.

” Jadi Pak guru bu.. ketuleran ibu, guru akuntansi juga” kataku sambil senyam-senyum..

“Oh bagus itu…” komentarmu tanpa melihat ke arahku, sibuk dengan salah satu baju yang sepertinya diminatinya..

” ibu sendiri sekarang sudah berkeluarga kan bu.. aku dengar ibu dijodohkan.. ya kan bu.. adiknya Pak Daus kan bu.. guru Matematika itu..” eeeh aku tidak dapat menahan perasaan penasaranku ingin tahu banyak dengan idolaku dulu ini. dia mengembalikan baju yang dipegangnya ketempatnya semula.

” kamu wartawan juga rupanya..” katamu sambil tersenyum. lalu dia melirik jam tangannya..

” Rizal, maaf ya ibu harus cepat-cepat. salam untuk istrimu.. sayangi dan cintai dia dengan tulus ya, terima dia apa adanya” .. eeeh kenapa dia jadi banyak berkata-kata.

dan ketika aku perhatikan ada kilau kepedihan di mata nya yang berbungkus kacamata itu, aku ingin bertanya tapi dia cepat berlalu… dan akhirnya aku urungkan untuk bertanya. aku merasakan ada sebait puisi sedih pada ibu guru ku yang dulu sangat kucintai itu…tapi apa ya.. aku tertekun dan bermain dengan lamunanku.

“Papa… kita ke tempat mainan yook” anakku yang nomor dua membuyarkan lamunanku

“ooyaa ya… sepatunya sudah dapat ?” tanyaku sambil menuntunnya ke tempat mainan.. seperti yang sulung bersama ibunya sudah beranjak lebih dahulu, ke tempat mainan..

Sejak bertemu dengan ibu guru Yayan, wanita yang dulu sangat kukagumi, kuhormati, kucintai, aku merasa gelisah. Di hatiku ada sesuatu hasrat untuk bertemu lagi dan mengetahui bagaimana keadaan wanita idamanku dulu itu. Dia sudah menikah, aku tahu itu. Akupun sudah menikah, aku sadar itu. Tetapi aku merasakan dia tidak bahagia dan aku merasa tidak rela. Aku ingin lebih banyak tahu kehidupan dia sekarang. Tetapi bagaimana caranya, aku tidak tahu di mana ibu Yayan tinggal. Aku pernah bertamu ke rumahnya yang dulu, dan ternyata keluarga ibu Yayan sudah lama pindah, rumah tersebut dijual. Memang masih di kota Palembang, tapi dimana. Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Plaju, Pakjo atau di mana. Aku berusaha mencari tahu lewat sahabat-sahabatku kalau-kalau saja mereka tahu, tapi mereka bilang ibu Yayan tidak mengajar lagi dan letak pasti di mana bu Yayan tinggal mereka tidak tahu, yang pasti bu Yayan tinggal bersama Suami dan anak-anaknya. Oh ya, dari mereka aku tahu sedikit, Suami Yayan seorang pengusaha, dan mereka dikaruniai tiga anak, perempuan dua, satu laki-laki. Dan kesibukanku mencari tahu tentang Ibu Yayan ini rupanya tidak luput dari perhatian Asri, istriku. Sudah dapat ditebak bukan, dia cemburu sekali dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya Jogyakarta, anak-anak diajaknya. Asri tega membiarkan aku sendiri, melakukan segalanya sendiri, angka satu deh seperti lagu dangdut tempo dulu yang dipopulerkan oleh siapa ya…lupa aku.

Sebenarnya aku sudah menjelaskan kepada Asri, jika ibu Yayan itu masa lalu. Tetapi dengan segenap emosi yang dia punya, dia tetap pergi meninggalkan diriku, menenangkan diri katanya.. yah sudah aku pasrah saja. Lagipula ada enaknya juga, aku jadi banyak waktu untuk mencari dan menemukan jejak ibu Yayan… hehehehe.. kalau dipikir-pikir, wajar sekali Asri marah, tetapi aku tidak bisa mengelak dari rasa penasaranku kepada ibu guruku itu, ibu Yayanti tercinta… hahahahaha. 

Dan akhirnya kegigihanku mencari tahu membuahkan hasil. Sepertinya Allah masih tak tega membiarkan aku terkukung oleh rasa penasaran. Pagi itu aku hendak pergi mengajar, di simpang tiga yang dulu kutahu adalah lokasi rumah ibu Yayan aku menjalankan motorku perlahan. Entah kenapa aku ingin menyelusuri jalan menuju rumah ibu Yayan tempo dulu. Dan betapa kaget campur senangnya aku, ketika tepat di depan rumah ibu Yayan yang dulu aku melihat ada seorang perempuan berjilbab lebar turun dari beca, memang tidak ke pagar rumah ibu Yayan yang dulu melainkan menuju gang samping rumah. 

“ibu Yayan…” teriakku penuh harap. Wanita itu menoleh dan hei memang ibu Yayan. Dia menunggu aku turun dari motor, sepertinya dia sudah mengenaliku. 

“Syahrizal kan. Kebetulan atau sengaja kemari ?” tanyanya setelah aku dekat dirinya. 

“eeh.. kebetulan bu..” aku merasa malu, karena menyadari semangat yang ada pada diriku untuk bertemu lagi dengannya begitu besar. 

“ibu masih tinggal di sini” aku berusaha menetralisir perasaanku yang gegap gempita oleh rasa suka cita ketemu sang idola hati, ibu Yayanti tercinta..wahai, berhak tidak ya aku menyebutnya begitu. Mengapa pula pakai yang tercinta ya, mungkinkah memang aku masih menyimpan rasa, lho bagaimana dengan Asri, istriku, ibu dari Toto dan Titi, anak-anakku ?!! 

“oh tidak, ibu ke sini hanya ada keperluan dengan kakak ibu. Dia masih tinggal di sini, di rumah belakang, tuh kelihatan dari sini” kata ibu Yayan seraya menunjuk ke rumah bercat biru yang kelihatan dari mulut gang. 

“ibu lama atau sebentar bu..” eeh tiba-tiba saja ada ide gila di otakku. 

“oh sebentar saja.. hanya memberikan ini” ibu Yayan memperlihatkan bungkusan yang dibawanya. 

“pesanan istri kakak ibu. Kenapa emangnya ? oya Rizal mau ngajar kan ?” lanjut ibu Yayan. 

“iya bu, aku hanya ingin menawarkan jasa, jika ibu tidak keberatan. Ingin mengantar ibu jika ibu cepat pulangnya..” kataku dengan pembendaharaan kata yang dipilih sebaik mungkin. 

“tidak perlu itu Rizal. Lagipula katamu kamu mau mengajar kan ?” dan sesuai dengan pemikiranku ibu Yayan pasti menolak. 

“yaah kalau begitu tidak apa bu. Aku pergi dulu ya bu..” kataku dengan sikap baik-baik saja. setelah melihat anggukan ibu Yayan, aku segera kembali kemotorku, dan menjalankannya..dari kaca spion motor aku lihat ibu Yayan masuk ke dalam lorong, dan hilang dari pandangan mataku. Aku menghentikan motor dan berbelok kembali ke mulut lorong rumah saudaranya ibu Yayanti tersebut. Aku ingin menunggu bu Yayan meski dia tadi menolakku. Dan kebetulan ada warung makanan di depan lorong tersebut maka aku leluasa menunggu sambil pura-pura makan di situ, yap, aku memutuskan untuk tidak mengajar hari ini demi membuang penasaranku yang menyiksa ini. 

Satu jam, dua jam, duh lama juga nih. Air teh yang kupesan sudah  hampir dua gelas habis kuminum. Tetapi bu Yayan sepertinya tidak keluar juga dari lorong. Akhirnya aku menyerah. Aku merasa ada kepedihan mengalir di ulu hatiku, andai saja aku perempuan tentu aku sudah menangis, namun berhubung aku seorang laki-laki, yang sudah Bapak-bapak, sudah beristri dan mempunyai anak dua. Malu kalau sampai masalah menunggu tanpa hasil ini saja aku sampai menitikkan air mata. Yaaah, aku menarik napas panjang. Ibu yang jaga warung makanan tempat aku menunggu ibu Yayan nampak menaruh curiga tetapi tidak berani asal tuduh sepertinya. Dengan cuek aku bayar apa yang aku makan dan aku minum. Lalu menuju tempat motor yang kuparkir di dekat warung. Aku naik ke motor dan berpikir, pulang saja lah. Namun untuk yang terakhir aku ingin memastikan, aku menoleh kelorong..dan ola la.. yang kuharap akhirnya menjadi nyata.ibu Yayan. 

—-Aku naik ke motor dan berpikir, pulang saja lah. Namun untuk yang terakhir aku ingin memastikan, aku menoleh kelorong..dan ola la.. yang kuharap akhirnya menjadi nyata.ibu Yayan.—

Kulihat ibu Yayan berjalan sambil menunduk menyelusur lorong. Aku menunggunya dengan sabar. Dan ketika dia menginjakkan kakinya ke aspal jalan, aku mendekatinya …

” bu..” sapaku selembut mungkin. Dia kaget, dan mengucap pelan..astafirullah al azim.. kata-kata yang sangat kuhapal akan terlontar dibibirnya jika dia kaget, atau tidak suka dengan sesuatu…

” maaf bu.. bikin kaget. Aku hanya ingin mengantar ibu pulang.. boleh kan ?” aku bertutur dengan nekat. Lama dia memandangiku sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan..

“Rizal, kamu tidak perlu serepot ini…” katanya dengan nada seperti menyesali.

“tidak bu, tidak repot.. sama sekali tidak repot, bahkan aku sangat ingin mengantar ibu.. jadi jangan menolak ya bu..” nah, aku pikir aku sudah mulai gila..apalagi mengingat kondisiku yang suami orang dan dia, bu Yayan seseorang yang pernah menjadi guruku, dan dia istri orang. Tetapi semua itu kutindas dalam-dalam, pikiranku saat itu hanya satu, aku ingin mengantarnya pulang kerumahnya agar aku tahu rumahnya dan jika ada kesempatan aku akan bertandang, dan satu lagi, aku ingin dekat-dekat dia, aku tidak ingin kehilangan sosoknya lagi meski hanya memboncengnya sebentar, tapi itu lebih dari cukup bagiku.

“Rizal, sebenarnya ada apa.. mengapa kamu begitu memaksa” tanpa peduli ajakanku dia berjalan menuju arah pasar yang memang tidak jauh dari lokasi kami saat ini. aku terdiam, sambil menjejeri langkah dengan menjalankan motor pelan-pelan, aku berpikir, iya ya.. mengapa..? tetapi perasaan yang bergejolak di dadaku menuntunku demikian. Apalagi jika kuingat pertemuan tempo hari, di mana aku melihat seperti ada kabut di mata ibu Yayan. Kabut duka yang sepertinya diusahakan disimpan dengan rapi dan rapat-rapat.

“Bu..andai aku ingin mengajak ibu makan bakso, ibu tidak marah kan dan bersedia..” kataku sedikit kecut, takut ditolak.. bu Yayan kan gudangnya penolakan.. hehehe.

“Yang di dekat-dekat sini saja ya…”

Hah… kata-kata itu mengagetkan bercampur rasa senang…

“tapi tidak perlu Rizal menyuruh ibu naik motornya.. biarlah ibu jalan kaki begini.. warung baksonya tidak jauh kan..” sebelum sempat aku menyuruhnya naik motor, dia sudah keduluan bicara begitu.. ya deh aku mengalah, jangan sampai ibu Yayan berubah pikiran.. dan begitulah, sambil ngobrol yang tak penting kami menuju warung bakso yang ada.

Tak lama kami sampai, aku mengajak bu Yayan duduk agak di pojokan.. dia seperti mau protes tapi diurungkannya.. diapun duduk manis di depanku, aah, aku jadi kangen dengan istriku..Asri. Gaya mereka sama, dan aku kira aku memilih Asri jadi istriku itu tentu karena pengaruh pesona bu Yayan juga,

“ibu mau minum apa ? jus pokat ya bu..”kataku dengan semangat. Dia tersenyum.

“terserah kamu saja. Tapi kamu tahu darimana ibu suka jus pokat ?” tanyanya meneliti. Aku tidak menjawab melainkan segera memanggil gadis yang menjaga warung bakso untuk memesan bakso 2 mangkok, jus pokat untuk bu Yayan dan es campur untuk diriku sendiri. Sesaat kami sibuk dengan pemikiran kami masing-masing. Tetapi diam-diam aku memperhatikan gerak-gerik bu Yayan yang ada didepanku. Dia tampak tenang, tidak kelihat gelisah atau gugup sepertinya dia menganggap “kencan” kami ini biasa-biasa saja. Sekali-sekali dia membetulkan jilbabnya yang tertiup angin. Penampilan bu Yayan pun tidak berubah, tetap berkacamata dan berjilbab panjang. Hanya saja aku pikir ada sedikit yang berubah.. yaitu bu Yayan terkesan lebih dewasa dan lebih bersahaja.. jika tidak ingin dikatakan sangat sederhana. Dulu aku selalu melihat bros yang menghiasi jilbabnya berganti-ganti. Tetapi saat sekarang dia sepertinya tidak memakai bros. jilbabnya hanya diselipkan dengan peniti kecil agar terkesan rapi. Dan jari-jari itu biasanya dihiasi cincin-cincin kecil yang cantik, sekarang kelihatannya hanya dikenakannya sebuah cincin kawin yang sepertinya sudah mulai pudar kuningnya. Akhirnya pesanan kami datang. Aku segera mempersilakan dia untuk menyantapnya. Dia mengangguk tanpa bersuara dan mulai menyantap.. setengah gelas jus pokat masuk ketenggorokannya, dia berhenti.

“kenapa bu ?” aku bertanya sedikit cemas.. sesungguhnya, aku ingin dia menghabiskan dulu semua hidangan setelah itu baru aku berniat untuk bertanya segala hal yang ingin aku ketahui.

“Tidak apa-apa, hanya ibu merasa heran atas semua ini.. ada apa Zal..”

“ooh .. ehehehe” aku ketawa lirih.

“yaah.. istrimu tahu kalau kau traktir ibu jajan bakso ?” tanyanya tanpa kuduga.

“eeh.. ya bu tahu..” aku jadi asal saja menjawab.

“Syukurlah. Hm Rizal, berceritalah ada apa. Ibu merasa pertemuan semacam ini memang sengaja kau harapkan terjadi. Ya kan. Nah jadi berterus teranglah, ada apa..” kata-kata bu Yayan meluncur dengan lancarnya, hemn.. ibu Yayan-ibu Yayan, tahukah engkau, saat ini jantungku terasa lebih kencang berdenyutnya. Tahukah ibu bahwa Syahrizal yang dulu yang pernah menyatakan cintanya pada ibu saat ini masih merasa mencintai ibu..meski dia sudah beristri dan memiliki anak-anak. Tetapi cinta itu tetap tumbuh dengan subuh dan indah…

“Rizal, ibu tidak sendiri lagi. Ibu sudah bersuami. Dan ibu juga sudah memiliki anak-anak. Begitu juga dengan kamu. Makan bakso bersama seperti inipun sebenarnya tidak layak kita lakukan. Ini awal sebuah perselingkuhan Rizal. Dosa..” matanya yang bening menatapku dengan tegas, meski nada suaranya begitu lembut.

“ibu tahu Rizal penasaran dengan ibu. Sejujurnya ibu akui, ibu sekarang lusuh dan seperti tidak sebahagia dulu. Yaah tetapi ibu ikhlas dengan kehidupan ibu itu. Meski pernikahan yang ibu jalani ini tanpa dilandasi rasa cinta. Tetapi ibu tidak peduli, meski saat ini ibu belum merasakan bagaimana rasanya dicintai olehnya. Rizal, ibu tidak ingin berlalu dari takdir ini. ibu yakin suatu saat nanti cinta itu akan datang. Dan diapun akan mencintai ibu seperti kau mencintai ibu…” waw… bu Yayan. Kata-kata itu begitu blak-blakan, dan tanpa ada kata-kata yang diselubuki oleh kiasan. Aku jadi kehilangan kata-kata dan sepertinya juga tidak perlu berkata-kata.

“Asri, begitu kan nama istrimu. Tentu berharap yang sama denganmu. Ingin kamu cintai apa-adanya.. kamu kan sudah memilih, mengapa harus mencoba sesuatu yang dilarang oleh Allah. Rizal, kawan-kawanmu banyak yang bercerita tentang kamu, ibu sangat tersanjung.. ibu sangat berterimakasih karena dicintai dengan tulus. Tapi Cinta Tidak Mesti Bersatu.. ya kan ?” lanjut bu Yayan. Pleees..des..kata-kata itu seperti tonjokan kecil di ulu hatiku.. ada sesuatu yang menjalar pedih di hati tetapi setetes embun ketulusan seperti mengelumerkan kepedihan itu…

“Rizal, kamu mengerti maksud ibu tentunya…” yaah… aku mengerti bu. Tetapi boleh kan jika aku untuk pertama dan terakhir menyium tangan mungilmu.. batinku, dan tanpa pemisi hal itu aku lakukan.. hah.. hampir tumpah mangkok baksonya.. dia kontak berdiri.. tapi kemudian duduk lagi. Tangan yang kupegang dan kucium tadi segera ditariknya.

“Riii.. zal..” ada getar marah di suaranya…tapi bu Yayan memang jempolan.. dia tidak berteriak gaduh sehingga pengunjung warung bakso menoleh.. dia sesaat saja kaget…

“kamu…aah sudahlah.. lupakanlah.. tetapi ibu harus pulang sekarang. Terimakasih bakso dan jus pokatnya ya.. dan ibu harap ini pertama dan terakhir ada pertemuan semacam ini diantara kita. Salam untuk istrimu.. jangan kau sakiti hatinya. Jika kau sakiti dia.. berarti kau menyakiti hati ibu juga..” katamu dan segera beranjak pergi meninggalkan aku sendiri merenungi apa yang diucapkannya dan apa yang kuperbuat..aku merasa kepalaku berdenyut-denyut..pusing.. aaah Yayan, aaah Asri

Ibu Yayan pergi meninggalkan aku sendirian di warung bakso, aku merasakan ada sesuatu yang ikut pergi mengikuti dirinya, aku merasa ada sesuatu yang hilang dan aku tidak tahu pasti apa itu, namun kata-kata ibu Yayan tadi semakin menambah rasa kasihku, cintaku kepadanya. Aneh bukan, tetapi itu nyata. Aku dapat merasakan kegetiran dari kata-katanya, aku ingin memeluk dirinya dan memberikan kehangatan cintaku yang murni kubingkis buatnya. Tetapi aku juga teringat Asri, istriku. Dia baik dan mencintai aku setulus cintaku kepada ibu Yayan. Selama hampir 10 tahun dia mendampingi diriku dan suka duka kami jalani bersama. Dia istri yang setia dan mengabdi. Dia juga tidak pernah berkata kasar seperti juga ibu Yayan, aku dapat pastikan itu. Aaah.. jika dipikiri terus kepalaku terasa penuh sekali, aku kepingin ngaso saja. Aku ingin istirahat agar pikiranku kembali jernih dan kepala ini sedikit lebih ringan. Setelah membayar makanan yang aku dan ibu Yayan pesan, aku segera ke tempat parker motorku. Duuh mengapa mataku seperti berkunang-kunang ya. Hemn, mungkinkah aku kurang tidur sehingga darah rendahku kumat lagi. Yaah semenjak Asri pulang kampung bersama anak-anak karena merajuk, aku mengerjakan semua keperluanku sendirian. Dan aku tidak bisa beralasan capek untuk semua yang kubutuhkan dalam keseharianku, karena hidup terus berlanjut meski tanpa istri disampingku. 

Dengan semboyongan aku menaiki motorku dan menghidupkannya. Dan ooh kepalaku bertambah pusing, aku merasa semua berputar.. dan astafirullah al azim.. semua gelap.. gelap .. ya gelap… dan aku tidak merasakan apa-apa lagi selain suatu rasa yang nyaman di mana aku melihat di atas sana ada senyum lembut ibu Yayan yang kucintai, senyum manis Asri yang mencintaiku, dan ada senyum ceria kedua anak-anakku. Betapa damainya, dan aku menikmatinya sampai akhirnya.. 

“Kak Rizal.. oh kak Rizal, maafkan aku. Aku memang egois kak, tapi kenapa kamu memilih untuk meninggalku Kak, aku masih membutuhkanmu….” Suara isak Asri membuat aku melek dan melihat pemandangan yang sulit aku mengerti. Di sana, di tengah-tengah ruang tamuku, aku melihat tubuh yang diselubungi kain dan disekelilingnya Asri, anak-anakku, papaku, mamaku, dan juga ibu Yayan tertunduk sedih. Mata mereka merah karena tangis, ada apa ?!! tak lama kemudian, datang ibu-ibu tetanggaku, dia membuka kain, dan lailahaillah Muhammadarullallah, itu aku. Yaah aku.. kenapa bisa aku terbaring di situ. 

Dan ooh ya baru aku sadari, saat ini aku seperti berada di awang-awang. Aku tidak berdiri melainkan melayang. Dan.. dan .. 

“Dik Asri, relakan Rizal ya agar dia tenang di alam sana” terdengar suara ibu Yayan. Aku mengarahkan pandanganku kepada kedua wanita berjilbab lebar itu dan menajamkan pendengaranku. Aku melihat mata Asri menatap tajam pada ibu Yayan. Heei dia marah. 

“ini semua gara-gara ibu. Kalau ibu tidak pergi bersama Rizal tentu semua ini tidak akan pernah terjadi…” tudingnya geram. Aku melihat raut wajah tenang ibu Yayan sedikit tegang, dia berusaha menguasai perasaannya. Dan suara keras Asri terus menghujaninya dengan kata-kata yang tidak menyenangkan. Tetapi ibu Yayan memang jempolan, dia tidak melakukan apapun selain diam dan memandangi Asri dengan pandangan yang teduh. Sampai akhirnya Asri capek sendiri dan menangis terisak-isak. Kasihan kamu Asri, tapi bagaimana lagi sepertinya memang harus begini.. 

“Mbak Asri, Bapak Rizal jatuh setelah lama ibu Yayan pergi dari warung itu. Ibu Yayan tidak melakukan apa-apa, dia dan pak Rizal hanya jajan bersama. Setelah ibu Yayan selesai makan, beliau langsung pulang. Mungkin saja memang saat itu Pak Rizal sedang tidak enak badan, sehingga kejadian itu membuat pak Rizal tiba ajalnya. Mbak Asri, ini adalah takdir.. karena makanan yang Pak Rizal dan Ibu Asri makan sama sekali tidak beracun” seorang pemuda yang sepertinya polisi menenangkan Asri dan menjelaskan semua yang terjadi.. ooh begitu, jadi aku sekali sudah almarhum toh? Aku mengaruk kepalaku yang tak gatal dan ketika tiba-tiba ada yang mengandeng tanganku untuk berlalu dari tempat itu, aku nurut saja.. yaaah, aku digiring pada tempat yang sebenarnya buat aku setelah aku meninggalkan semua orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku akan dihitung amal dan dosaku… yaaah… aku ternyata telah ALMARHUM…. 

SELESAI DAAH @hak cipta Nyimas Herda (atas izin ybs ditampilkan diblog ini, lihat studi kelayakan info)

Leave a comment